JAKARTA, carvaganza.com – Dunia motorsport memang tricky. Justru engineer senang bermain di area menipu ini agar mobilnya mendapat kelebihan dari regulasi yang berlaku. Kasus fleksibel wing yang menimpa Red Bull Racing sempat menjadi ‘skandal’ besar yang menggemparkan jagat dunia balap. Inovasinya sederhana, tapi efeknya sangat besar. Baik bagi pembalap maupun tim.
Flexible wing
Formula 1, 2011 – 2014
Yang ini adalah kelakuan tim Red Bull Racing. Kehebatan Red Bull menyabet gelar juara empat kali berturut-turut dari musim 2010 – 2013 tak terlepas dari hasil inovasi, teknologi dan tentu saja area abu-abu. Plus skill juara dunia empat kali F1 Sebastian Vettel.
Sebetulnya RB7 yang dipacu Vettel sudah dicurigai memakai sayap depan fleksibel (flexible front wing) dari musim 2011. Tapi lolos pemeriksaan. Di mata kebanyakan kompetitor saat itu, RB memakai wing depan ilegal.
Baca juga: Perbuatan Cheating Paling Akbar Di Dunia Motorsport (Bagian 1)
Kenapa disebut fleksibel? Saypa depan itu bisa melentur (menekuk) ke bawah kalau mobil melesat dalam kecepatan tinggi. Karena melentur, maka sudut sayap berubah dan secara otomatis mengurangi drag. Kalau mobil diperiksa dalam keadaan diam, tak kelihatan. Tapi kalau sudah meluncur dalam kecepatan tinggi, jet darat menjadi mengganas karena akan memperkecil gap antara sayap dengan permukaan trek sehingga memberikan keuntungan dari sisi aerodinamika. Peranti aerodinamika bergerak (movable aerodynamics) sendiri sudah dilarang di F1 pada tahun 1969.
Pada musim 2011 trik lolos dari pantauan, begitu juga musim 2012 dan 2013. Namun, pada musim 2013 FIA memberlakukan pemeriksaan yang lebih ketat yang akhirnya menangkap basah Red Bull. Pada balapan terakhir musim 2014, Red Bull dihukum karena flexible wing saat kualifikasi dan harus start balapan dari baris paling belakang.
Low Rider
Formula 1, 1981
Perbuatan cheating yang dilakukan oleh Brabham hampir mirip dengan Red Bull. Mereka mengakali aerodinamika untuk mendapatkan kecepatan yang lebih tinggi lagi. Racing engineer dan desainer mobil F1 Gordon Murray sudah menyadari hal itu ketika Ia memacu Brabham BT49C di trek tahun 1981.
Mobil tersebut mengadopsi sistem suspensi hydro-pneumatic di mana pada kecepatan tinggi, ground clearance mobil ke trek akan lebih rendah dari yang sudah diregulasikan untuk meningkatkan performa aerodinamika mobil. Dalam keadaan diam, ground clearance mobil sudah sesuai regulasi yaitu 6 cm karena silinder suspensi hydro-pneumaticnya penuh (setengah berisi udara dan setengahnya lagi cairan hidrolik).
Baca juga: 10 Mobil Paling Aerodinamis yang Tersedia di Indonesia
Pada saat mobil berlari kencang, downforce dari aerodinamika yang dihasilkan sayap depan dan belakang akan menekan body mobil ke bawah. Hasil tekanan itu mengeluarkan isi silinder secukupnya ke central reservoir, dari situ ride height jadi rendah. Ketinggiaan pengendaraan mobil akan tetap rendah sampai balapan berakhir. Pada saat mobil menyentuh finish, lantas melakukan cooling down lap, ride height akan kembali ke posisi semula sesuai regulasi karena tekanan mulai longgar.
Menurut Murray, kalau mobilnya dalam posisi diam, ride height legal menurut regulasi. Tim-tim rival sempat memperdebatkan legalitas setelah Brabham yang dipacu Nelson Piquet menjuarai Argentina GP musim 1981. Pada balapan berikutnya, suara kontra dari tim lawan mereda karena mereka juga pakai. Tapi sudah telat, karena Piquet sudah ambil untung duluan di awal dan menjadi juara dunia F1 musim 1981 dengan selisih hanya satu poin.
Brake Dancing
Formula 1, 1997-98
Tim McLaren di era kejayaan Mika Hakkinen dan David Coulthard. Engineer yang mengakali area abu-abu ini adalah Steve Nichols, engineer asal Amerika. Area abu-abu yang diakali itu terjadi selama pertengahan musim kedua 1997 sampai awal 1998.
Sistem yang diadopsi Nichols adalah mengaktifkan hanya satu rem belakang saja sesuai kebutuhan pembalap ketika akan menikung. Sistem ini dapat mengurangi understeer McLaren MP4/12 pada saat membelok. Untuk melihat kerja rem belakang dibutuhkan mata fotografer untuk menangkap momen tersebut.
Setelah diprotes, engineer Mclaren mengakui inovasi abu-abu yang mereka lakukan. Dengan sistem itu, mobil bisa menghemat waktu setengah detik per lap. FIA akhirnya melarang ‘brake steer’ yang dipakai McLaren.
Air Supply
World Rally Championship, 2003
Udara ditambah bahan bakar adalah kekuatan. Makanya lembaga dari semua bentuk motorsport membatasi tenaga dengan memperketat masukan udara ke dalam mesin. World Rally Championship belajar dari kasus Toyota Celica.
Nah skandal air supply ini dilakukan oleh tim Ford di WRC musim 2003. Caranya, mobil reli Ford Focus RS menggunakan udara daur ulang untuk mendongkrak performa mobil. Engineer membuat tangki udara dan menyembunyikannya di kover bumper belakang. Tangki yang terbuat dari titanium setebal 2 mm itu menampung udara bertekanan dari turbocharger pada saat pengemudi mengangkat gas.
Di trek lurus, pengemudi bisa melepaskan udara yang tersimpan di tangki untuk disalurkan ke intake manifold di mesin lewat pipa titanium. Trik ini bisa menaikkan tenaga 5 persen. Tahun itu, pereli pabrikan Markko Martin juara dua seri dan finish kelima kejuaraan umum. Ia didiskualifikasi dan akhirnya di-ban dari balapan.
EKA ZULKARNAIN
"Sport" - Google Berita
October 05, 2020 at 03:59PM
https://ift.tt/3iuVV3e
Perbuatan Cheating Paling Akbar Di Dunia Motor Sport (Bagian 2) - Carvaganza.com
"Sport" - Google Berita
https://ift.tt/35r9aeK
Shoes Man Tutorial
Pos News Update
Meme Update
Korean Entertainment News
Japan News Update
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Perbuatan Cheating Paling Akbar Di Dunia Motor Sport (Bagian 2) - Carvaganza.com"
Posting Komentar